Pejalan Kaki di Indonesia: Mau Sampai Kapan Mengalah?
Berjalan kaki telah terbukti memiliki dampak positif bagi masyarakat dan ruang hidupnya. Selain bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan fisik dan memberikan efek relaksasi, berjalan kaki membantu masyarakat untuk dapat berinteraksi serta membangun komunitas di ruang-ruang publik.
Berjalan kaki juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas udara di kota. Jika dibandingkan dengan menggunakan kendaraan bermotor, berjalan kaki adalah opsi yang paling minim memproduksi emisi karbon. Di tengah manfaat positif berjalan kaki, masyarakat di sebagian negara telah menjadikan berjalan kaki sebagai kultur maupun kebiasaan. Berdasarkan riset dari Stanford University, Hong Kong, China, dan Jepang berturut-turut menduduki peringkat teratas sebagai negara paling aktif berjalan kaki. Riset ini dilakukan dengan menghitung rata-rata jumlah langkah kaki menggunakan smartphone dari kisaran 700.000 orang. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia menduduki posisi terakhir, menjadi negara yang paling tidak aktif berjalan kaki.
Kontrasnya peringkat Hong Kong, Cina, Jepang dengan Indonesia turut disebabkan oleh perbedaan ketersediaan infrastruktur bagi pejalan kaki. Dalam ketiga negara tersebut, akses terhadap infrastruktur pedestrian memadai adalah hal yang wajar ditemui. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Meskipun pembangunan pedestrian sudah masif dilakukan di Indonesia, namun nyatanya pembangunan ini hanya dilakukan di pusat kota maupun jalan-jalan tertentu. Sebagian pedestrian malah dipenuhi oleh pedagang kaki lima, dijadikan tempat parkir, atau bahkan dijadikan alternatif jalan bagi kendaraan bermotor.
Sebagai pejalan kaki yang mengandalkan pedestrian dalam melakukan mobilitas, saya turut menemui beragam hambatan dalam berjalan kaki. Berdomisili di Yogyakarta, sebagian besar pedestrian yang saya jalani berada dalam kondisi rusak, sempit, bahkan rawan disenggol oleh kendaraan bermotor. Terkadang, saya malah harus mengalah terhadap kendaraan motor untuk lewat terlebih dahulu, dikarenakan lebar pedestrian yang terlalu sempit atau bahkan tidak ada sama sekali. Permasalahan semakin kompleks jika kita membahas mengenai keterhubungan pedestrian di Yogyakarta, dimana pedestrian bisa tiba-tiba terputus di tengah jalan. Fasilitas tambahan dalam pedestrian seperti guiding block yang ditujukan untuk penyandang disabilitas relatif terbengkalai dan jarang digunakan. Tentu saja. Penyandang disabilitas mana yang berani berjalan di pedestrian yang terputus di tengah jalan dengan risiko diserempet kendaraan bermotor?
Yogyakarta sebagai kota yang terkenal dengan pariwisatanya, nyatanya hanya memberikan pedestrian yang inklusif di area tertentu seperti pusat kota, situs turis, serta jalan-jalan besar. Diluar area tersebut, pedestrian cenderung tidak terawat dengan baik, bahkan jauh lebih banyak jalan-jalan yang tidak memiliki pedestrian. Minimnya atensi terhadap pembangunan serta perawatan pedestrian menjadi masalah yang tidak hanya terjadi di Yogyakarta, namun juga di Indonesia. Jika kota pariwisata sekelas Yogyakarta saja masih belum mampu menyediakan pedestrian yang memadai bagi pejalan kaki, bagaimana dengan nasib kota-kota lainnya?
Minimnya pedestrian yang layak bagi pejalan kaki di Indonesia merefleksikan minimnya political will dari pemerintah dalam memasukkan pedestrian sebagai isu prioritas dalam perumusan kebijakan. Sebagai langkah dalam mewujudkan ruang hidup yang layak bagi masyarakat Indonesia, diperlukan lebih dari sekadar komitmen normatif dalam memberikan pedestrian yang layak bagi pejalan kaki. Rendahnya tingkat keaktifan masyarakat Indonesia dalam berjalan kaki tidak semata-mata disebabkan oleh rasa malas; malas karena cuaca yang terlalu terik dan sebagainya. Nyatanya, Singapura, negara dengan iklim yang serupa dengan Indonesia yakni Singapura, memiliki masyarakat yang tergolong aktif berjalan kaki. Hal ini dikarenakan pemerintah Singapura memiliki political will dalam menyajikan ruang hidup yang layak bagi masyarakatnya, salah satunya adalah dengan menyediakan pedestrian yang layak serta transportasi publik yang memadai. Sehingga, dengan fasilitas pedestrian didukung dengan transportasi publik yang memadai, masyarakat terdorong untuk terbiasa berjalan kaki.
Pejalan kaki di Indonesia sudah terlalu lama mengalah. Mengalah dengan kendaraan bermotor, mengalah dengan pedagang kaki lima, mengalah dengan minimnya political will pemerintah dalam menyajikan pedestrian yang layak bagi pejalan kaki. Secara jangka pendek, mengorbankan ruas jalan bagi pejalan kaki di tengah kemacetan kota memang bukanlah opsi yang populer. Namun, membangun pedestrian berarti memfasilitasi masyarakat untuk berjalan dengan nyaman. Dengan konektivitas antara pedestrian dengan fasilitas publik, pedestrian mendorong masyarakat untuk mau menggunakan transportasi publik. Lambat laun, pembangunan transportasi publik dapat menjadi agenda prioritas bagi pemerintah. Pada akhirnya, pembangunan pedestrian yang memadai membantu meningkatkan penggunaan maupun pembangunan transportasi publik, begitupun sebaliknya, serta memberikan ruang hidup yang lebih layak bagi masyarakat untuk berinteraksi serta membangun komunitas. Alih-alih sebatas tempat untuk mencari pekerjaan, kota dapat berkembang menjadi ruang hidup yang layak dan aman bagi manusianya.